BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang
banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10
kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok yang
kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah Makuthawangsa
Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai penutup Kerajaan Mataram
Kuno atau medang.
Secara umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3
dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa
Sailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di
Kerajaan Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru
membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok
merupakan lanjutan dari kerajaan mataram.Dengan demikian
Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa
baru, yaitu wangsa Isana.
Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena
sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga
ke Jawa Timur.
1.Bagaimana asal-usul terbentuknya Wangsa Isyana? Dan bagaimana
masa Dharmawangsa Teguh?
2.Bagaimana kehidupan masyarakat kerajaan
Mataram Kuno setelah berpindah ke Jawa Timur?
3.Apa penyebab runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
di Jawa Timur?
PEMBAHASAN
2.1 Asal-usul
Wangsa Isyana
Istilah Isyana
berasal dari nama Sri Isyana
Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja
Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan agama yang dianut, Mpu
Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan
Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan
bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu
Daksa
yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri
memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa
(kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli
Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai
anggota Wangsa
Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan
ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota
dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya
memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan
dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang baru tetap bernama Mataram,
sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun 865 Saka (943M) dan prasasti
Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu Sindok dalam kelurga raja-raja
yang memerintah di Mataram itu memang di permasalahkan. Seperti yang telah
dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan
Mahapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa
ia pewaris takhta kerajaan yang sah, siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu
kawin dengan putri mahkota untuk dapat menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.
Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar
ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu bangunan suci,
kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan
menjadi sima atas perintah raja
sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan di Anjukladang. Dapat dilihat bahwa memang
Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat dalam
prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam
prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya
perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu desertai dengan
penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukara dyah
Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa
mungkin ada juga sana-sini raja bawahan atau penguasa setempat yang tidak mau
tunduk, dan perlu dikuasai dengan kekutan senjata, bukanlah hal yang mustahil.
Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbat memang membayangkan adanya
kemungkinan tersebut. Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan
mungkin juga berhubungan dengan adanya serangan musuh. Seperti telah
disebutkan, ibu kota kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Akan tetapi,
di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan
ada di Watugaluh.
Dari sekian banyak bangunan
suci yang disebutkan di dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada
satu pun yang dapat dilokalisasikan dengan tepat. Prasasti Anjukladang
menyebutkan adanya Candi Lor dan sekarang didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada
reruntuhan candi. Sebenarnya diharapkan adanya suatu peninggalan arkeologi yang
dapan diidentifikasikan dengan candi kerajaan, sebagai pengganti percandian
Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa
Timur. Akan tetapi hingga kini belum ada peninggalan candi di Jawa Timur yang
dapat dianggap sebagai candi peninggalan kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan
tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku
keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya
sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa
Sanjaya.Cikal
bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana.
Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri
Lokapala.
Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri
bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari
Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti,
nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum
suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi
daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa.
Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890-900-an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat
Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra
Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang
menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan
demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun
prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini merupakan salinan kedalam
bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta. Angka tahun dituliskannya
tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di kitab juga disebutkan nama raja
yang memerintah saat itu yakni Sri Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain ditemukannya kitab juga ditemukan sebuah prasasti,
yakni adalah prasasti Jayawarsa Dikwijaya Sastra Prabudalam kitab itu disebutkan bahwa
raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan bahwa dirinya anak cucu
sang Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar Abiseka sebagai Raja Sri
Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan yang terakhir sebuah candi Dharma Parhyangan
di Wetan, candi ini merupakan candi untuk mengenang kematian Darmawangsa Teguh.
Setelah
pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa
Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka
tahun yang ditentukan, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti
Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka
(1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang telah
diwarisinya dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di sebelah selatan
perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai tempat
menirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan
biaya upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak
di sebelah selatan seluas 3 tampah
yang telah digadai oleh pungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanja.
Prasasti
Kawambang Kulwan boleh dikatan belum diterbitkan sebagaimana mestinya.Apa yang
terdapat dalam transkipi Brandes sebagian kecil permulaannya saja, itu pun
hanya dibaca satu sisi, sedang prasasti ini ditulis melingkar. Yang dapat
ditangkap ialah bahwa prasasti ini memuat anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan
pu Burung bahwwa prasasti sima di
Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan
suci pemujaan dewa (an padamla parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini
berasa dari masa pemerintahan Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum
terbaca; yang ada ialah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu
Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu
peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti yang dipahat pada batu alam
yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok), dan
penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Rupa-rupanya pohon itu ditanam
di tempat permulaan atau akhir jalan yang diperbaiki itu.Peristiwa ini
diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis dengan huruf kuadrat yang
besar-besar.Raja Sri Isana Dharmawangsa
Teguh Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan kitab Wirataparwa, memerintah
dalam dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin sampai tahun 1017 M. Melihat
gelarnya yang mengandung unsur Isana ia jelas keturunan Pu Sindok secara
langsung. Kemungkinan besar ia anak Makutawangsa-warddhana, jadi saudara
Mahendradatta Gunapriya-dharmmapatni. Ia menggantikan ayahnya duduk diatas
takhta kerjaan Mataram, sedang Mahendradatta kawin dengan Udayana, yang
ternyata seorang raja dari Wangsa Warmmadewa di Bali. Dapat dipahami sepenuhnya
mengapa Airlangga menyebut dirinya masih anggota keluarga dari raja
Dharmmawangsa Teguh
Dharmawangsa Teguh memerintah dalam dasawarsa terakhir abad 10 M
dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh memiliki gelar Sri Isana Dharmawangsa
Teguh Anantawikramottunggadewa (menurut prasati raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabu
dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang disandang mengandung unsur Isana,
jelas bahwa Dharmawangsa
Teguh keturunan dari Empu Sendok secara langsung (Prasati Pacangan).
Kemungkinan besar Dharmawangsa Teguh anak dari Makutawangsawardana, dia juga
merupakan saudara dari Mahendradatta Gunapriya Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan
ayahnya dengan duduk di atas tahta Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta
kawin dengan Udayana yang ternyata seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di
Bali. Jadi pada waktu itu Bali sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti
dengan ditemukannya prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa
kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya
(Sumatra) pada saat itu kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa pernah
menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina, tetapi
serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan
Sriwijaya, karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan
sebaliknya untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M.
Pemerintahan Dharmawangsa
Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini terbukti adanya prasasti batu
yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang ) di daerah Sumatra Selatan tahun
919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat
kerajaannya untuk yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan pusat
kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah Maospati.
Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas sumber
dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk meluaskan
kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan ditangan
raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari sangat
dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi putri Dharmawangsa Teguh tidak tercapai,
karena Dharmawangsa Teguh menikahkan putrinya
dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh hancur menjadi abu
karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja Wurawari dan seluruh
daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh ketangan raja Wurawari.
Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja Wurawari cukup puas melampiaskan sakit
hatinya karena tidak berhasil menjadi menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari
prasasti Pucangan Dharmawangsa dicandikan di Wwatan, sekarang masih ada di desa
Wotan di daerah kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam masa pemerintahaannya
menitik beratkan pada pola politik luar negrinya. Ketika Sriwijaya diserang
oleh Dharmawangsa sekitar tahun 992 yang
hasilnya Sriwijaya kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan pembalasan atas
serangan itu terhadap Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu oleh raja Wurawari,
sehingga mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau Pralaya.
2.2 Kehidupan Masyarakat
Kehidupan Sosial
dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha membawaperubahan baru dalam kehidupansosial dan ekonomi masyarakat
Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami
perkembangan yang berevolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami
perkembangan dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai itu karuang.Sumber−sumber
berita Cina mengungkapkan keadaan
masyarakat Mataram dari abad ke−7 sampai ke−10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri
berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik
dari Vietnam dan Cina. Kenyataa ini
dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran
sebuah kerajaan dari Jawa.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperolehin formasi
adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status
yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang
tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka
itu adalah parasaudagar dariluar negeri.Namun, sumber−sumber local tidak
memperinci lebih lanjut tentang orang−orang asingini. Kemungkinan besar mereka
adalah kaum migran dari Cina.Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota
kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan
batang kayu. Di dalam istana, berdiam
raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luaristana (masih di dalam
lingkungan dinding kota) terdapat kediaman param pejabat tinggi kerajaan
termasuk putra mahkota beserta
keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di manapara hamba dan
budak yang dipekerjakan di istana juga
tinggl sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai
sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok
kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat
agraris karena pusat Mataram terletak di
pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan
kebanyakan rakyat Mataram. Di sampingitu, penduduk di desa (disebutwanua)
memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, danitik.Sebagai
tenagakerja, merekajugaberdagang
danmenjadi pengrajin.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang
kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diaadakan setiap hari
melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurutka lender Jawa Kuno.
Pada hari Kliwon, pasardiadakan di pusatkota.
Pada har I Mani satau legi, pasar diadakan di desabagian timur. Pada hari Paking (Pahing),
pasar diadakan di desa sebelah selatan.Pada
hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat.
Padahari Wage, pasar diadakan di desasebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi
pusat perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain.
Mereka datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai
sambil membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk
dibarterdengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga
juga sudah berkembang. Beberapa hasil industry ini antara lain anyaman seperti
keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula, kelapa,
arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di
pasar−pasar tadi.Sementaraitu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer
atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak
memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian
dibukamenjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi
penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepaladesa), senopati, atau
adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana
atau rahibuntuk di jadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka, dan di sekitar
asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.
Aspek Kehidupan Ekonomi
Rakyat Mataram menggantungkan
kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak
kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil
pertaniannya.Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan
sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil
bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil
industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga,
pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur
sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta
telurnya juga di perjualbelikan.Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian
ketika Raja Balitung berkuasa.Raja telah memerintahkan untuk membuat
pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai
Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas
perdagangan melalui aliran sungai tersebut.Sebagai imbalannya, penduduk desa di
kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya
pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan
menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
Struktur
Birokrasi
Dalam struktur
pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno raja (Sri
Maharaja) ialah penguasa tertinggi. Dari gelar abhiseka dan puji-pujian kepada raja di dalam berbagai prasasti dan
kitab-kitab susastra Jawa Kuno sejak raja Airlangga. Dari jaman Mataram Kuno
hanya ada dua orang raja yang bergelar abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu
Bhujayottunggadewa dan Rakai Layang dyah Tulodong Sri
Saijanasanmatanuragatungadewa.Di naskah Ramayana Kakawin yang di dalam bagian yang berisikan uraian
tentang rajadharmma (tugas kewajiban
seorang raja), yaitu bagian yang merupakan ajaran Rama kepada adiknya Bharata
dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaran astrabrata,
yaitu perilaku yang delapan. Dikatakan bahwa di dalam diri seorang raja
berpadu 8 dewa-dewa, yaitu Indra, Yama, Suryya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan
Agni.
Secara singkat
bahwa seorang raja harus berpegang teguh pada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan
anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang
wigraha anugerah), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap
gejolak-gejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar rakyatnya senantiasa
memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan
kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.Sejak raja Airlangga sampai
munculnya Wangsa Rajasa raja-raja menggunakan gelar abhiseka yang berarti
penjelmaan Wisnu, hal itu berlandaskan konsepsi kosmologis. Konsepsi ini
dipergunaka oleh nenek moyang kita untuk membenarkan fakta sejarah tentang
tergulingkannya seorang maharaja oleh raja bawahannya.
Contoh tentang
digulingkannya seorang maharaja oleh seorang penguasa daerah atau oleh maharaja
dari mandala yang lain, ialah perang saudara, atau perang perebutan kekuasaan
di antara para pangeran, yang disebabkan karena raja di jaman dulu, disamping parameswari banyak yang dapat memberikan
anak laki-laki kepada raja. Perang saudara dan perebutan kekuasaan di antara
para pangeran itu terjadi pada masa sesudah Rakai Kayuwangi pu Lokapala sampai
ke masa pemerintahan Pu Sindok, dan pada masa sesudah raja Airlangga.Sebenarnya
telah ada ketentuan mengenai hal waris atas takhta kerajaan, yaitu bahwa ya ng
pertama-tama berhak untuk menggantikan duduk di atas takhta kerajaan ialah
anak-anak raja yang lahir dari parameswari.
Di dalam
prasasti-prasasti dari jaman pemerintahan Rakai Kayuwangi dan Rakai Watukura
dijumpai seorang pejabat yang kedudukannya setingkat dengan para putra raja
itu, yaitu pamgat tiruan. Gelar pamgat menunjukkan bahwa ia seorang
pejabat keagamaan. Dari prasasti-prasasti dari masa rajakula Rajasa pamgat tiruan ialah seorang upapatti atau pejabat kehakiman.Ada satu pejabat yang hingga
sekarang hanya dijumpai di dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa
Timur, yaitu rakryan kanuruhan. Gelar
kanuruhan ditemukan juga di antara
tulisan-tulisan singkat pada salah satu candi perwara Candi Loro Jonggrang di
Prambanan pada deretan yang sebelah timur.Rakryan kanuruhan mulai tampak
sebagai pejabat dalam hirarki pemerintahan pusat sejak jaman empu sindok. Pada
masa pemerintahan raja Dharmmawangsa Airlangga ia merupakan pejabat yang
terpenting sesudah para putra raja keadaan ini terus berlangsung sepanjang
jaman Kadiri. Dalam jaman ini ia disebut sebagai yang terutama di antara pada
tanda rakryan ring pakirakiran.
Itulah gambaran
yang diperoleh dari sumber prasasti tentang birokrasi ditingkat pusat kerajaan.
Raja didampingi oleh para pangeran, di antaranya putra mahkota, dan seorang
pejabat kehakiman. Mereka itu ialah rakarayan mapati I hino, I halu, I sirikan,
I wka, dan pamgat tiruan. Berita cina yang menyangkut masalah birokrasi di
kerajaan Mataram tidak juga banyak menolong dalam mengungkapkan selengkapnya
masalah ini. Berita dari jaman rajakula T’ang (Hsin-T’ang-shu) mengatakan bahwa
ada 32 pejabat tinggi, dan yang pertama di antara mereka ialah ta-tso-kan-hiung.
Berita dari jaman rajakula Sung mengatakan : tiga orang putra raja bertindak
sebagai raja muda, dan ada pejabat yang bergelar samgat dan empat rakryan, yang
bersama-sama menyelenggarakan Negara sebagaimana para menteri di Cina, mereka
itu tidak memperoleh gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu memperoleh
hasil bumi dan barang-barang lain semacamnya.
Berita yang
pertama pernah ditafsirkan sebagai berita yang khusus berkenaan dengan masa
pemerintahan Rakai Watukara Dyah Balitung, sebab ta-tso-kan-hiung ditafsirkan
sebagai Daksa, saudara raja yang gagah berani.Berita yang kedua lebih
terperinci, dan dalam beberapa hal memang sesuai dengan data epigrafis. Di atas
sudah dilihat adanya tiga, bahkan sebenarnya empat orang putra raja yang duduk
dalam hirarki pemerintahan. Tetapi bahwa selanjutnya ada samgat dan empat
rakryan tidaklah sesuai, karena kenyataannya ada empat samgat dan lima orang
rakryan.
Dengan perkataan
lain kebanyakan di antara para manilala drawiya haji itu ialah abdi dalem
keraton, yang menikmati kekayaan raja dalam arti menerima gaji tetap dari
perbendaharaan kerajaan. Para pejabat tinggi kerajaan dan para pangeran yang
menduduki jabatan di dalam hirarki pemerintahan tingkat pusat, baik yang
bergelar rakai maupun pamgat, lebih banyak tingkat di lingkungan ibukota
kerajaan. Sayang sekali prasasti-prasasti tidak memberikan data yang lengkap
tentang struktur birokrasi ditingkat watak itu. Lebih terperinci ialah
keterangan mengenai pejabat-pejabat di bawah para penguasa daerah. Seorang Rakai
Patapan misalnya, disebut mempunyai bawahan tuhan ning nayaka, parujar atau
parwuwus, matanda, tuhan ning kalula, tuhan ning lampuran, tuhan ning mangrakat
atau manapal, dan tuhan ning wadia rarai.
Administrasi
Pengadilan
Sumber
penghasilan kerajaan dan pemerintahan daerah yang lain ialah denda-denda yang
dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di dalam prasasti-prasasti disebut
sukha dukha, yang di dalam naskah-naskah hukum disebut hala hayu, denda-denda
itu di dalam prasasti juga disebut drawya haji. Hal ini tidak perlu
mengherankan karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum menjadi
pegangan para hakim itu tentu tidak ditulis di atas logam, karena akan menjadi
berat dan mahal.Beberapa naskah hukum jawa kuno yang sampai kepada kita diketahui
merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain kitab
Purwadhigama, Kuramanawa atau Siwasasana dan Swarajambhu. Menurut penelitian
van Naerssen memang ada petunjuk bahwa naskah-naskah hukum jawa kuno itu diulis
kembali pada waktu kemudian.
Karena dari
jaman Mataram tidak ada naskah hukum yang sampai kepada kita, maka gambaran
tentang administrasi kehakiman hanya dapat disuguhkan di sini berdasarkan
beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (Jaya Patra), dan
keterangan tentang sukha dukha yang terdapat dalam prasasti-prasasti yang
lain.Perkara yang dipermasalahkan di dalam prasasti Guntur dan Wurudu Kidul
dapat diselesaikan ditingkat watak oleh seorang pamgat. Sudah kita lihat bahwa
yang diperkarakan di dalam prasasti Guntur ialah masalah hutang piutang. Di
dalam surat keputusan itu disebutkan sebagai sebab yang pertama mengapa Sang
Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena ia tidak hadir di persidangan.
Alasan yang serupa juga digunakan terhadap Sang Pamariwa yang digugat oleh Sang
Danadi.
Sebagai alasan
yang kedua mengapa Sang Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena menurut
kitab hukum hutang istri yang dibuat tanpa pengetahuan suaminya, apalagi kalau
mereka itu tidak mempunyai anak, tidak menjadi tanggung jawab si suami. Pasal
yang mengatakan demikian tidak terdapat di dalam naskah hukum yang diterbitkan
oleh Jonker, juga tidak ada di dalam bab VIII dari Manawadharmmasastra. Hal
yang diajukan di dalam prasasti Wurudu Kidul tidak terdapat di dalam naskah
hukum yang kita kenal. Mungkin tidak ada naskah hukum yang mengatur masalah
status kewarganegaraan seseorang. Maka dalam hal ini keputusan diambil
berdasarkan kesaksian kaum keluarga Sang Dhanadi dan penduduk asli yang netral
dari beberapa desa di luar desa tempat tinggal Sang Dhanadi.
Di dalam
naskah-naskah hukum memang ada juga dicantumkan syarat-syarat seorang saksi,
antara lain harus orang yang telah berkeluarga, yang banyak anaknya, penduduk
asli, dan orang-orang yang tidak berkepentingan di dalam perkaranya, baik dari
kasta ksatrya, waisya, maupun sudra. Seorang brahmana tidak dapat dijadikan
saksi, demikian pula raja sendiri, para tukang dan pandai, dan para pendeta
yang telah meninggalkan keduniaan.Bahwa pihak yang tidak hadir dalam
persidangan harus dinyatakan kalah perkaranya memang ditentukan di dalam naskah
hukum. Dalam kasus Sang Dharmma melawan Pu Tabwel sebenarnya ada ketentuan
bahwa Sang Dharmma dapat dikenai denda, karena menagih hutang tetapi tidak mau
datang di pengadilan untuk menjelaskan duduk perkaranya hutang piutang itu.
Tetapi ternyata di dalam prasasti Guntur itu tidak ada disebutkan hukuman bagi
Sang Dharmma.
Keadaan Masyarakat
Di samping
stratifikasi sosial berdasarkan pembagian kasta seperti yang ternyata dari
berbagai prasasti, ada lagi stratifikasi sosial berdasarkan kedudukan seseorang
di dalam masyarakat, baik kedudukan di dalam struktur birokrasi maupun
kedudukan sosial berdasarkan kekayaan materil. Dalam kenyataan stratifikasi
sosial masyarakat jawa kuno bersifat kompleks dan tumpang tindih. Sebagai
contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta brahmana, kasta yang
tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur birokrasi tingkat pusat atau
tingkat watak, dapat juga ditingkat desa (Wanua), tetapi dapat juga tidak
mempunyai sesuatu jabatan. Ada juga orang dari kasta ksatrya yang dapat
menduduki jabatan keagamaan ditingkat pusat, seperti Sang pamgat tiruan
misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu biara. Di ibukota
kerajaan, yang menurut berita-berita Cina dikelilingi oleh dinding, baik dari
batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang juga
dikelilingi oleh dinding. Di luar istana, masih di dalam lingkungan dinding
kota, terdapat kediaman putra mahkota (Rake hino), dan tiga orang adiknya, dan
kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Rumah-rumah mereka itu terletak di dalam
kampung khusus di dalam lingkungan tembok kota, di mana tinggal para hamba
mereka masing-masing.
Di dalam
lingkungan tembok kota itu juga tinggal para pejabat sipil yang lebih rendah, yaitu
para manilala drawyah haji yang jumlahnya mungkin sampai kira-kira tiga ratus
orang, bersama-sama dengan keluarga mereka. Jadi di dalam lingkungan tembok
ibukota kerajaan tinggal kelompok elit dan non elit, dengan raja dan
keluarganya mengambil tempat tersendiri. Menurut berita-berita Cina raja tiap
hari mengadakan pertemuan dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat
tinggi kerajaan dan pendeta penasehat raja. Biasanya raja mengambil keputusan
setelah mendengarkan pendapat dari para pejabat yang hadir sebagai contoh dapat
dikemukakan di sini prasasti Sarwadharma tahun 1191 saka (31 oktober 1269 M).
Di dalam prasasti ini diperingati permohonan rakyat dari desa-desa yang menjadi
punpunan Sang Hyang Sarwwadharma di wilayah Janggala dan Pangjalu agar mereka
itu dibebaskan dari ikatan thanibala, sehingga tidak perlu lagi membayar
bermacam-macam pungutan.
Dalam kehidupan
sehari-hari rakyat tidak terlepas dari kebutuhan akan hiburan.
Prasasti-prasasti dan relief candi-candi, teritama Candi Borobudur dan
Prambanan, banyak member data tentang bermacam-macam seni pertunjukan. Tentang
pertunjukan wayang di dalam prasasti Wukajana dari masa pemerintahan Rakai
Watukura Dyah Balitung.Pada pertunjukan wayang kulit dan petilan wayang orang
serta pembacaan ceritera Ramayana ada lagi pertunjukan lawak mamirus dan
mabanol. Pertunjukan lawak hampir dijumpai di semua prasasti yang menyebut
upacara penetapan sima secara terperinci.Tarian-tarian juga sering
dipertunjukan pada upacara penetapan sima. Ada tari-tarian yang dapat ditarikan
bersama oleh laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan pemuda-pemudi, dan
ada juga tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Ada
juga tari topeng (matapukan). Tarian itu biasanya diiringi dengan gamelan.
Ternyata prasati dan relief candi menampilkan jenis alat gamelan yang terbatas,
anatra lain semacam gendang (padahi) kecer atau simbal (regang), semacam
gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi(wina), seruling dan gong.
Adanya berbagai
macam tarian yang diiringi oleh gamelan yang terbatas itu dijumpai di relief
Candi Prambanan dan Borobudur. Diantaranya kita dapat melihat tarian perang,
seorang wanita menari sendiri, adegan yang menggambarkan semacam reog di Jawa
Barat, dan lain-lain. Adegan wanita yang menari sendiri diikuti oleh beberapa
orang laki-laki yangbertepuk tangan mengingatkan kita pada keterangan di dalam
prasasti Poh yang menyebut rara mabhramana tinonton mwang were werehnya (gadis
yang berkeliling untuk ditonton dengan orang laki-laki), mungkin semacam
teledek yang ngamen berkeliling dari desa ke desa yang lain.Berbagai macam
tontonan itu tentu saja ridak hanya dipertunjukkan pada waktu ada upacara
penetapan sima. Ada dalang, penabuh gamelan, penari dan pelawak professional,
yang memperoleh sumber penghasilan dari profesinya tersebut. Seperti telah
dikatakan di atas bahwa para seniman itu masuk ke dalam kelompok wargga
kilalan.
2.3 Penyebab Keruntuhan Kerajaaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar.
Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh
kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis.Sementara
di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino
ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan. Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa
Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah,
prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3
dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa
Sailendra, dan Wangsa Isyana.Istilah Isyana berasal dari nama Sri
Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi
raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa Isyana dijumpai
dalam prasasti Pucangan tahun 1041
atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku
keturunan Mpu
Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti
yang berangka tahun yang ditentuka, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka
(966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem
tahun 934 Saka (1012-1013 M). Usaha untuk
meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi,
seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil
industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga,
pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur
sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta
telurnya juga di perjualbelikan.
DAFTAR PUSTAKA
Marwati
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Dikutip
dari :http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama
dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara